PCNU Kota Surabaya Adakan
Kirab Panji N.U .
.
HALALBIHALAL JAMIYAH SHOLAWAT NARIYAH
PCNU SURABAYA .
.
Ketua PCNU Surabaya bersama Ulama'
.
Dr.H.Achmad Muchibbin Zuhri .
.
Rekan PC IPNU SURABAYA .
.
Sahabat Faisol seketaris .
KH.MAS YUSUF bersama KH. Sholeh Qosim .
.
Kudeta Gus Dur
Jumat, 21 Juli 2017 16:40
Oleh Rijal Mumazziq Z
Saat terjadi kudeta Mesir, aktivis Ikhwanul Muslimin
turun jalan. Mohamed Morsi, presiden dari kubu mereka, didongkel
jenderalnya sendiri, Abdul Fatah al-Sisi. Mereka melawan. Tentara
memberangus gerakan politik islamis ini. Para pemimpin IM tak mau
menyerah, mereka menyuarakan perlawanan. Banyak aktivis menjadi martir.
Di
Turki, Recep Tayyip Erdogan nyaris didongkel. Pelakunya? Faksi kecil
militer. Dari tempat liburannya, sang presiden menyuarakan perlawanan.
Pendukungnya bergerak. Arus bawah menguat. Kudeta akhirnya gagal.
Di
Indonesia, 2001, Gus Dur versus parlemen. Dengan halus dan piawai, para
politisi mempreteli kekuasaan Gus Dur. Mega dan Amien Rais melakukan
manuver politik yang biasa disebut sebagai kudeta halus. Sebagian
politisi NU menyuarakan perlawanan, sebagian kecil bahkan membentuk
front "perjuangan". Mereka siap mempertahankan Gus Dur di kursi
kekuasaan dengan taruhan nyawanya. Pamswakarsa, milisi sipil tak
bersenjata api yang disokong militer dan (kabarnya) didanai politisi,
mulai terlibat bentrok dengan pendukung Gus Dur, setelah dua tahun
sebelumnya baku hantam dengan mahasiswa.
Suara
perlawanan terus dikumandangkan. Basis-basis Nahdliyin menggelegak,
dibangkitkan dengan narasi terdzolimi. Di tengah kondisi yang memanas
ini, bagaimana reaksi Gus Dur sebagai RI-1 yang didukung jutaan
massanya? Apakah dia menggelorakan perlawanan dengan menggerakkan
pendukungnya? Tidak.
Dengan berkaos dan
bercelana pendek, di teras istana negara, ia menyapa para pendukungnya
yang sudah siap mati untuknya. Ini penampilannya yang paling eksentrik.
Presiden yang menanggalkan simbol kebesarannya dengan hanya mengenakan
baju rakyat: kaos dan celana pendek. Bisa saja Gus Dur menggunakan
pakaian kebesarannya dan simbol-simbol tertentu untuk menyentuh aspek
sentimentil-emosional pendukungnya. Tapi tidak, dia tidak melakukannya.
Dengan tertatih-tatih, Gus Dur mengangkat tangan, melambaikan telapak,
dan meminta pendukungnya pulang. Pulang? Ya, pulang. Tak ada orasi
perlawanan, tak ada narasi sebagai pihak yang dizalimi, juga tak ada
glorifikasi jabatan melalui penggunaan jargon-jargon agama.
Para
pendukungnya, yang datang dari berbagai daerah, menangis. Bukan karena
melihat Gus Dur sebagai pihak yang dizalimi, tapi tangis haru melihat
upaya sang tokoh menghindari bentrok sesama anak negeri. Bukankah ini
cara Gus Dur mengimplementasikan Ukhuwah Wathaniyah alias persaudaraan
tanah air? Elegan, bukan?
"Tak ada jabatan di
dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian," kata Gus Dur suatu
ketika. Karena sejak awal sudah memandang sebuah jabatan sebagai sesuatu
yang tidak istimewa, maka Gus Dur pun tak lantas melakukan glorifikasi
dan mistifikasi atas sebuah jabatan.
Tak
percaya? Silahkan cermati komentar Gus Dur di sebuah perbincangan ini,
"Saya jadi presiden itu cuma modal dengkul. Itupun dengkulnya Amien
Rais."
Rijal Mumazziq Z adalah penulis buku Revitalisasi Humanisme Religius dan Kebangsaan KH. A. Wahid Hasyim
.
.
Dr.H.Ach Muchibbin Zuhri Mag .