KH. Masduqi Mahfudz; Aku Diajak Rapat Ambek Gus Dur .
Nasab dari Ayah
Nasab dari Ibu
- Muainamah (Alm.)
- Achmad Fahrurrazi (Alm.)
- Khadijah (Alm.)
- Achmad Masduqi (Alm.)
- Sa’adah (Jepara)
- Achmad Said (Alm.)
- Sofiyah (Alm.)
- Achmad Shohib (Alm.)
- Achmad Zahid (Malang)
- Ahmed Mas’udi (Jakarta)
- Achmad Zahri (Alm.)
- Achmad Maskuri (Alm.)
- Aslihah (Malang)
- Achmad Mujab (Jepara)
Dari keempat belas putra-putri Nyai Chafsoh ini, tujuh diantaranya
meninggal dunia ketika masih kecil dan remaja. Kyai Masduqi merupakan
putra keempat dan merupakan putra sulung yang hidup.
Kehidupan Keluarga
KH. Achmad Masduqi Machfudz dikenal sebagai orang yang cukup sederhana
dalam kehidupan sehari-harinya. Corak kehidupan keluarga yang beliau
bangun sama sekali jauh dari citra kemewahan. Kesederhanaan yang
dicitrakan Kyai Machfudz sangat membias pada keluarga Kyai Masduqi.
Terlebih sejak kecil, Kyai Masduqi sangat gigih dalam menekuni bidang
keilmuan terutama ilmu agama. Salah satu prinsip hidup beliau adalah:
“Kalau kita sudah meraih berbagai macam ilmu terlebih ilmu agama, maka
kebahagiaan yang akan kita capai tidak saja kebahagiaan akhirat, akan
tetapi kebahagiaan duniapun akan teraih.”
Dari hasil pernikahannya dengan Nyai Chasinah putri dari KH. Chamzawi
Umar pada 7 Juli 1957 dalam usia 22 tahun, beliau dikaruniau 9 orang
anak, yaitu:
- Mushoddaqul Umam, S.Pd. Ia lahir di Tarakan Kalimantan Timur, tanggal 21 Juli 1958. Saat ini di kediamannya di Jl. Danau Kerinci IV, E15, disamping kesibukan sehari-hari menjadi Wakil Kepala Sekolah SMU 10 dan pengajar pada MA Al-Maarif Singosari, S1 bahasa Inggris yang pernah mondok di Pesantren Roudhatut Tolibin Rembang ini, juga merintis majlis ta’lim untuk orang tua dan siswa SD, SMP, SMU dan mahasiswa.
- Muhammad Luthfillah, SE. Ia dilahirkan di Rembang Jawa Tengah pada tanggal 28 Oktober 1959. Sarjana Ekonomi dari UNIBRAW yang sebelumnya menempuh pendidikan di Pesantren Roudlotul Tolibin Rembang ini, saat ini menjadi pengurus PP. Pagar Nusa dan anggota DPRD Jatim dari fraksi FKB.
- dr. Moch. Shobachun Niam SpB-KBD. Ia dilahirkan di Samarinda Kalimantan Timur pada 25 Agustus 1961, sambil berdinas di RSU Polmas Sulawesi, alumnus Pesantren Roudlotut Tolibin Rembang ini juga menjadi pengurus wilayah NU Sulawesi Selatan.
- M. Taqiyyuddin Alawiy, dilahirkan di Malang pada 8 April 1963. Setelah menyelesaikan studi di Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang, ia meneruskan studi di Fakultas Tehnik UNISMA Malang. Saat ini, disamping menjadi dosen di Institusi yang sama, juga menjadi Rais Syuriah MWC Kedung Kandang Malang.
- Dra. Roudlotul Hasanah, dilahirkan di Malang pada 8 Maret 1965. Setelah mondok di Pesantren Tambakberas Jombang, ia memperoleh gelar Sarjana Bahasa Inggris di IAIN Malang (sekarang UIIS). Dalam kesehariaannya mengajar di MTSN Sepanjang Gondalegi Malang, juga menjadi salah seorang tenaga pengajar pada Pesantren Nurul Huda Malang.
- Isyroqunnadjah, M.Ag., dilahirkan di Malang pada 18 Februari 1967. Ia menyelesaikan studi S2 di PPS IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Saat ini alumnus Pesantren Lirboyo Kediri ini, disamping menjadi Ketua Program Bahasa Arab pada UIIS, juga menjadi wakil sekretaris Rabithah Ma’ahidil Islam, Cabang Malang.
- Dra. Badiatus Shidqoh, dilahirkan di Malang pada 11 April 1968. Saat ini alumnus Pesantren Tambakberas Jombang ini menjadi tenaga pengajar pada STIE Malangkucecwara Malang.
- Fauchatul Fithriyyah. S.Ag. dilahirkan di Malang pada 25 Agustus 1970. Ia memperoleh gelar sarjana di STAIN Malang (sekarang UIIS) setelah sebelumnya mondok di PP. Maslakul Huda Kajen Pati Jateng. Kesibukannya yaitu mengelola beberapa TPQ binaan Pesantren Nurul Huda, juga menjadi tenaga pengajar pada Pesantren Nurul Huda Malang.
- Achmad Shampton Masduqi, SHI. Ia dilahirkan di Malang pada 23 April 1972. Selepas SMP ia mondok di Pesantren Lirboyo Kediri dan beberapa pesantren di sekitar Kediri. Memperoleh gelar sarjana di STAIN Malang (sekarang UIIS), saat ini menjadi khodim Pesantren Nurul Huda.
Sebelum memasuki dunia perkuliahan seluruh putra dan putri beliau tanpa
kecuali diharuskan mengenyam pendidikan di pesantren. Ini merupakan
prinsip yang ditanamkan Kyai Masduqi kepada para putra-putrinya. Dari
pengalaman mengaji di pesantren ini, meskipun background pendidikan
putra-putri beliau beragam, mereka mampu menjalankan amanah dakwah di
tengah-tengah masyarakat.
Pendidikan Formal
KH. Achmad Masduqi Machfudz terlahir di tengah-tengah keluarga religius
yang taat dan fanatik terhadap agama Islam. Sehingga sejak kecil beliau
sudah dihiasi dengan tingkah laku, sikap dan pandangan hidup ala santri.
Karena itu pula, Kyai Machfudz orangtuanya, tidak menghendaki Kyai
Masduqi kecil untuk bersekolah di sekolah umum, cukup di sekolah agama
saja.
Tetapi larangan ini tidak mematahkan semangat Kyai Masduqi kecil untuk
mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan yang tidak terbatas hanya di
bidang agama saja. Dengan semangat tinggi, Kyai Masduqi menimba ilmu di
pesantren dan sekolah umum dengan biaya sendiri dengan menyempatkan
berkeliling menjual sabun dan kebutuhan yang lain tanpa sepengetahuan
kyai atau orangtuanya sendiri.
Adapun pendidikan formal yang telah beliau selesaikan antara lain:
- Sekolah Rakyat di Jepara (1942-1948)
- SMP di Jepara (1950-1953)
- Sekolah Guru Hakim Agama/SGHA di Yogyakarta (1953-1957)
- IAIN Sunan Ampel Malang (1962-1966)
- IAIN Sunan Ampel Malang program doktoral (1975-1977).
Ketekunan, keuletan dan semangat juang yang tinggi, Kyai Masduqi
akhirnya mampu meraih berbagai macam ilmu pengetahuan baik di bidang
agama maupun pengetahuan umum.
Pendidikan non Formal
KH. Achmad Masduqi Mahfudz sejak berusia 5 tahun tepatnya pada tahun
1939 sudah disekolahkan di madrasah ibtidaiyah di kampungnya yang pada
waktu itu dikenal dengan istilah “Sekolah Arab”, karena di sini
pelajarannya semua berbahasa Arab. Beliau belajar di sekolah ini selama
kurang lebih lima tahun yaitu dari tahun 1939-1944. Di sinilah beliau
mulai mempelajari dasar-dasar berbahasa Arab dan agama Islam.
Kemudian setelah beliau menyelesaikan sekolahnya dan mempunyai dasar
yang cukup, beliau meneruskan belajarnya di Pondok Pesantren Jepara. Di
sini beliau belajar kurang lebih selama 8 tahun, yakni dari tahun 1945 -
1953, dan menyelesaikan Madrasah Tsanawiyah pondok selama 3 tahun.
Pondok Pesantren Jepara ini diasuh oleh Kyai Abdul Qadir, di sini beliau
belajar ilmu-ilmu alat yakni nahwu dan sharaf, fiqih, tauhid dan
lain-lain. Karena beliau belajar di sini sudah cukup lama, maka tidak
heran jika ilmu-ilmu tersebut sedikit banyak telah beliau kuasai.
Setelah menyelesaikan pelajarannya di pondok pesantren Jepara, beliau
masih merasa belum cukup ilmu pengetahuan agamanya, dan akhirnya beliau
pergi untuk belajar di Pondok Pesantren Krapyak.
Kisah Saat Mondok di Krapyak
“Aku heran dengan cara Mbah Ali mendidikku. Pada mulanya aku disuruh
sorogan Ta’limul Muta’allim. Belum sampai khatam sudah disuruh ganti
Taqrib. Baru selesai bab haji disuruh ganti kitab lain lagi. Begitu
seterusnya aku gonta-ganti kitab tanpa satu pun mengkhatamkannya.
Rasanya manfaat yang kuperoleh bukan terutama dari kitab yang kubaca,
tapi karena sering memandangi wajah Mbah Ali saja.”
Kiyai A. Masduqi Machfudh (Pengasuh PPSSNH Malang), Rais Syuriyah PBNU,
menceritakan bahwa Mbah Ali memiliki maziyah (keistimewaan) bisa
mentransfer ilmu tanpa mengajar secara verbal. Pada waktu pertamakali
datang ke Krapyak –mungkin sekitar tahun 50/60-an, Santri Masduqi diajak
mengikat janji oleh Mbah Ali: “Kalau kamu sanggup tinggal di pondok
nggak pulang-pulang sampai tiga tahun penuh, kujamin kamu akan jadi
lebih alim ketimbang yang sudah mondok 15 tahun tapi bolak-balik
pulang”, begitu akadnya.
Santri Masduqi benar-benar melaksanakan akad itu. Pada akhir tahun
ketiga, barulah ia pamit pulang. Sebelum mengijinkan, Mbah Ali meraih
tangan Santri Masduqi dan membawanya ke meja makan: “Ayo makan bareng
aku”, kata beliau.
Tapi ketika Santri Masduqi hendak meraih centong nasi, Mbah Ali melarangnya: “Kamu duduk saja!”
Lalu tanpa terduga beliau mengambilkan nasi untuk santrinya itu,
meladeninya dengan sayur dan lauk-pauk hingga minuman sesudah makan,
seolah Mbah Ali-lah yang menjadi khadam.
“Sejak saat itu”, kisah Pakdhe Masduqi, “tak ada kitab yang sulit
bagiku. Setiap ada lafadz yang tak kuketahui maknanya, seperti ada yang
membisiki telingaku, member tahu artinya…”
Aku percaya pada Pakdhe Masduqi, walaupun barangkali beliau menceritakan
ini sekedar untuk membesarkan hatiku ketika beliau ta’ziyah
meninggalnya ayahku. Mungkin juga aku percaya karena terdorong
ketidakpahamanku akan metode pendidikan Mbah Ali. Setiap santri seolah
diperlakukan khusus, dengan cara yang berbeda dari lainnya. Sepupuku
yang sekamar denganku tidak cukup disuruh menulis saja. Ia diperintahkan
ngeblad tulisan kitab. Santri lain disuruh mengumpulkan maqolah-maqolah
dari berbagai kitab. Seorang santri baru malah diperlakukan dengan
“sangat demokratis”.
“Kamu sorogan ya, Nak”, kata Mbah Ali kepada anak yang baru lulus SD itu.
“Sorogan itu apa, Mbah?”
“Setiap habis Shubuh kamu baca kitab di depanku”, Mbah Ali sabar.
“Kitab itu apa, Mbah?” Kuper nian anak itu.
“Kitab itu ya buku.”
“Yang dibaca buku apa?”
“Terserah kamu…”
Pagi itu, di tengah membaca kitabku di hadapan Mbah Ali yang dirubung
santri-santri, aku kaget oleh suara lantang anak baru di sebelahku:
“Pulau Buton menghasilkan aspal…!”
Kulirik “kitab” yang dipegangnya: PELAJARAN GEOGRAFI KELAS I SMP!
(Terong Gosong, digagas oleh mantan juru bicara Presiden RI era
Abdurrahman Wahid, KH. Yahya Cholil Staquf).
Berawal dari Mushalla, Merintis Pesantren Nurul Huda
Sejak tahun 1957 beliau mengajar di berbagai sekolah di Kalimantan, seperti di Tenggarong, Samarinda dan Tarakan.
Tahun 1964 melanjutkan studi di IAIN Sunan Ampel Malang, sekaligus
sebagai dosen Tadribul Qiraah (Bimbingan Membaca Kitab), bahasa Arab,
akhlak dan tasawuf. Di tengah kesibukan sebagai dosen dan pengasun
pesantren, beliau “melayani” pengajian di berbagai masjid di daerah
Malang dan Jawa Timur terutama yang sulit dijangkau oleh kebanyakan dai,
mubaligh dan kyai.
Pemahamannya terhadap kitab gundul sangat dalam, baik ketika dalam
pembahasan masalah di forum Majlis al-Bahtsi wa al-Muhadlarah
ad-Diniyyah, kodifikasi hukum Islam, bahtsul masail, maupun tanya jawab
hukum Islam pada majalah Aula. Sehingga jabatan Katib Syuriyah selama 15
tahun, Rois II Syuriyah sejak 1985, dan Rois Syuriyah PWNU Jawa Timur
hingga 2007 sangat tepat baginya.
Pesantren Nurul Huda yang dirintisnya bermula hanya sebuah mushalla
kecil yang berada di Mergosono gang 3B. Mushalla yang sebelumnya sepi
oleh aktivitas ibadah mulai digalakkan semenjak ia berdomisili di situ
ketika meneruskan pendidikannya di IAIN Sunan Ampel Cabang Malang.
Karena keahliannya dalam bidang agama, banyak mahasiswa yang nyantri
kepadanya dan kemudian terus ia semakin dikenal dan semakin banyak orang
belajar agama sampai akhirnya mushalla kecil tersebut menjadi pesantren
yang sesungguhnya.
Uniknya, dalam pendirian pesantren yang saat ini berlantai 3 itu, KH.
Achmad Masduqi Mahfudz belum pernah meminta sokongan dari masyarakat
sedikitpun. Beliau hanya mengandalkan dengan amalan bacaan shalawat
sebanyak 10.000 kali. Dengan berkah shalawat itulah beliau memohon
kepada Allah untuk pesantrennya dan putra-putrinya. Keampuhan
shalawatnya terbukti dengan berdirinya Pesantren Nurul Huda yang megah
serta kesemua anaknya berhasil lulus sarjana.
Ulama yang Mumpuni Ilmu Agama dan Ilmu Dunia
Beliau merupakan salah satu ulama yang mumpuni dan dalam memberikan
materi tidak monoton tapi dari satu materi bisa menjabarkan luas. Jamaah
pun menyimak dengan puas dan semua bisa menerima materi yang
disampaikannya. Karena cara penyampaiannya mengikuti tingkat kemampuan
jamaahnya.
Pengetahuan yang beliau miliki sangat luas tidak saja dalam masalah
ukhrawi tapi juga duniawi, termasuk masalah teknologi, sosial budaya
dlsb.
Di Malang dekade tahun 80/90-an ada beberapa kyai yang memiliki kesamaan
dalam memberikan materi seperti beliau, seperti Kyai Durajak (KH.
Abdurrazaq), Kyai Nabrawi Kasin dan Kyai Mahfudz Blimbing (KH. Mahfudz
Asasi).
Masih ingat jelas, tahun 90-an beliau mengajar di Masjid Qudsi Malang.
Kelihatan beliau nampak letih dan menyampaikan materi kitab Irsyadul
‘Ibad nampak lelah (mungkin hari itu jadwal beliau sangat padat). Takmir
masjid berinisiatif menukar air putih dengan kopi dan disediakan
tegesan (asbak). Kontan wajah beliau sumringah dan “clinggg...” beliau
menyalakan korek zipponya. Akhirnya beliau menyampaikan materinya dengan
semangat dan jamaah menerimanya dengan suka cita. (Penuturan Ustadz
Didik Isnanto).
Kyai yang Teguh Berprinsip
Al-Maghfurlah KH. Achmad Masduqi Mahfudz in Memoriam. Ketika seorang
santri membela kiainya dari berbagai serangan kiri-kanan, apa yang
diharapkan nanti dari doanya?
Dalam Muktamar NU di Solo tahun 2004, KH. Masduqi Mahfudz diserang
anak-anak muda liberal sebagai kiai jumud dan anti-progresif. Pasalnya,
sang kiai kharismatik ini menolak hermeneutika dan Islam liberal masuk
dalam agenda Muktamar.
Saya lalu membela sang kiai dalam forum Muktamar itu. Lalu saya tuangkan
dalam buku “Islam Pascakolonial” di bab 7, pas buku ini terbit di tahun
2005. Waktu membela beliau itu, doa saya hanya satu: “Ya Allah
mudahkanlah saya membaca khazanah keilmuan pesantren dalam
literatur-literatur bahasa Belanda dari abad 16 hingga abad 20. Semoga,
ketika sang kiai bertemu Sang Khaliqnya, beliau bisa menyampaikan doa
saya tersebut ke sana dan didengar oleh para malaikat,” kenang KH. Ahmad
Baso, sang muallif Pesantren Studies.
Isyarat Kewafatan KH. Achmad Masduqi Machfudz
Gus Ahmad Mundzir menceritakan tentang kesaksiannya di detik-detik
mangkatnya KH. Achmad Masduqi Mahfudz. Saat itu KH. Masduqi sedang
dirawat di RS Saiful Anwar. Beliau berkata dalam keadaan setengah sadar,
bahwa beliau diajak rapat sama Gus Dur.
Kemudian ibu bertanya: “Wonten nopo Bah?” (Ada apa Bah).
Jawab KH. Masduqi: “Aku diajak rapat iki, ambek Gus Dur. (Saya sekarang
diajak rapat sama Gus Dur). Maafkan Abah bila ada salah. Bagi yang
merasa mempunyai hak adami atas Abah, saya dan saudara-saudara bersiap
menanggungnya, sampaikan kepada kami.”
Sebelumnya, dalam kondisi masih sakit, KH. Achmad Masduqi Mahfudz
berkata kepada putranya: “Setelah 7 harinya Mbah Sahal, akan ada barisan
mergosono.” Ternyata barisan mergosono itu adalah mu’azziyin (para
pentakziah).
Akhirnya KH. Achmad Masduqi Machfudz wafat pada hari Sabtu, tanggal 1
Maret 2014 sekitar pukul 17.27 WIB di Rumash Sakit Saiful Anwar Malang.
Lahu al-Fatihah…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar