Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan
sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih
besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya,
meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari
Allah.
Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai
Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan
gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui
apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang
santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP
Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada
Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di
Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.
Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat
tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk
jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga
terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui
Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan
tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan
Kyai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih
sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng
sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama
dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki
prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh
melepasnya juga harus Kyai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri
kepada sang guru.
”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin
mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan
jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah
jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.
Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut
secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya
kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama.
Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di
Indonesia, bahkan di Asia.
Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia
Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang
dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang
menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain
bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek
keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di
tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin
Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini
Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran
madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di
kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah.
Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi
Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).
Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk
membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri
dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat
sulit memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab
para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini
memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai
Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan
mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.
Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk
Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya Kyai
Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).
http://www.fimadani.com/kh-hasyim-asyari-sang-penjaga-islam-tradisional/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar